Oleh: Abidinsyah.S (Warga Tanjung Redeb)
KEGELISAHAN masyarakat khususnya pelanggan air minum atas kenaikan tarif oleh Perumda Batiwakkal yang meroket beberapa waktu lalu cukup melelahkan. Sejumlah elemen masyarakat, pemuda dan mahasiswa bereaksi dengan melakukan unjuk rasa.
Bahkan menyuarakan hal tersebut pula, Kesatuan Pelajar dan Mahasiswa Kabupaten Berau (KPMKB) melakukan unjuk rasa di Kantor Gubernur Kaltim, Kantor Ombudsman dan terahir di Kantor KejaksaanTinggi Kaltim. Tuntutan mereka agar Bupati Berau membatalkan keputusan yang menyebabkan kenaikan tarif air minum yang dianggap diluar jangkauan masyarakat dan jika ada unsur pidananya dilanjutkan sesuai hukum yang berlaku.
Polemik sempat berkembang, karena Bupati Berau, Sri Juniarsih menyatakan tidak pernah mengeluarkan keputusan kenaikan tarif dan itu adalah fitnah, kebodohan dan provokator. Kemudian berujung dengan pelaporan ke Polres Berau tentang keputusan kenaikan tarif SK 705 yang oleh Bupati mengaku tidak pernah menandatangai karena waktu itu sedang cuti mengikuti kegiatan pemilihan kepala daerah.
Rentetan menyikapi persoalan ini pula disuarakan elemen masyarakat, pemuda dan mahasiswa dengan unjuk rasa didepan kantor DPRD Berau, Selasa (7/1/2025) lalu. Menyikapi tuntutan tersebut, Komisi ll DPRD Berau telah mengadakan pertemuan dengan Dirut dan manajemen Perumda Batiwakkal membahas kenaikan tarif air minum yang meroket dan membuat keputusan bersama untuk disampaikan kepada pengunjuk rasa di hari yang sama.
Secara garis besar, pertama DPRD Berau menolak kenaikan tarif air minum yang dikeluhkan masyarakat dan kedua, agar unsur pidananya dilanjutkan ke Polres Berau.
Memperhatikan keresahan masyarakat, bupati berau segera mengambil sikap dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati Berau No. 10 Tahun 2025 Tentang Penetapan Tarif Air minum yang dikelola Perumda Batiwakkal. Keputusan tersebut sangat melegakan karena isi keputusannya berkaitan dengan mengembalikan tarif ke semula yang berarti tidak ada kenaikan tarif.
Mengenai Keputusan Bupati Berau tentang tarif air minum tersebut mengingatkan saya dengan peristiwa diawal tahun 1980an di zaman orde baru dimana saat itu merebak korupsi terutama pungutan liar yang meresahkan masyarakat.
Pada waktu itu, Panglima Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) dipimpin Jenderal TNI AL Sudomo atas perintah presiden melakukan pemberangusan dan penertiban terhadap korupsi dan pungutan liar (pungli). Disetiap kantor inspektorat provinsi ditempatkan seorang inpektur operasi tertib (opstib) dengan pangkat letnan kolonel yang diberi kebebasan memeriksa di daerah. Sasaran opstib yang paling utama adalah pemberantasan korupsi dan pungutan liar.
Mengapa pungutan liar? karena kala itu dianggap sudah sangat meresahkan masyarakat. Pungutan yang dilaksanakan oleh bupati atau kepala dinas digolongkan sebagai pungutan liar jika pungutan tersebut hanya berbentuk surat keputusan bupati atau putusan kepala dinas yang apabila putusan tersebut tidak pernah dibahas dengan DPRD dan tidak sah.
Karena jika dibahas dan mendapat persetujuan DPRD maka bentuknya berupa peraturan daerah bukan surat keputusan bupati atau kepala dinas. Filosofinya adalah dalam negara demokrasi bukan diktator setiap pungutan kepada rakyat harus dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan masyarakat yang diwakili oleh DPRD.
Bagaimana dengan Surat Keputusan Bupati Berau no 10 Tahun 2025 Tentang Tarif Air Minum yang diterbitkan sepihak? Tanpa sepengetahuan DPRD Berau tentu perlu didukung alasan formil yang kuat agar tidak termasuk kategori pungutan liar seperti;
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 71 Tahun 2016 Tentang Perhitungan dan Penetapan Air Minum menyebutkan, Kepala Daerah menetapkan tarif air minum paling lambat bulan November setiap tahun (pasal 25).
Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut diatas juga disebutkan dalam pertimbangan Surat Keputusan Bupati Berau No. 10 Tahun 2025 Tentang PenetapanTarif Air Minum.
Mungkin kita perlu menyimak hierarki atau urutan peraturan perundang undangan yang diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Dimana dalam perundang-undangan tersebut menetapkan jenis dan hierarki peraturan sebagai berikut:
- Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Undang Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang.
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Hierarki Undang undang tersebut, sebagai landasan hukum untuk menguji apakah Keputusan Bupati Berau No. 10 Tahun 2025 tentang Tarif Air Minum absah dan mempunyai landasan hukum yang kuat.
Pembahasan selanjutnya dikaitkan dengan Undang Undang No. 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintan Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2020 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 71 Tahun 2016 Tentang Perhitungan dan Penetapan Air minum.
Kemudian mengenai Peraturan Daerah Kabupaten Berau No. 7 Tahun 2023 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang merupakan penerapan Undang Undang No. 1 Tahun 2022.
Dalam hierarki Undang Undang tersebut, tidak disebutkan Peraturan Menteri. Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2023 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah hanya mengatur air dan tanah tetapi ironisnya tidak mengatur air permukaan yang menjadi topik permasalahan karena tarifnya yang melonjak.
Dalam peraturan daerah tersebut juga tidak disebutkan kewenangan lembaga yang menetapkan dan menerbitkan keputusan tarif air minum.
Undang Undang No. 1 Tahun 2020 Tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah juga mengatur pengambilan dan pemanfaatan air permukaan (pasal 28) dan pengambilan dan pemanfaatan air tanah (pasal 65). Penetapan tarifnya dengan peraturan daerah (perda), dalam arti petapan tarif air minum untuk pelanggan harus dibahas dan mendapat persetujuan DPRD.
Surat keputusan Bupati Berau No. 10 Tahun 2025 dengan alas hukumnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 Tahun 2021 Menyebutkan tarif air minum ditetapkan oleh kepala daerah.
Keputusan ini batal demi hukum karena bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang Undang No. 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang menyebutkan bahwa penetapan tarif air minum dibentuk dengan peraturan daerah. Pungutan yang tidak didasarkan alas hukum yang sah nasibnya menjadi pungutan liar.
Dari uraian tersebut diatas, penulis menyimpulkan bahwa Surat Keputusan Bupati Berau No. 10 tahun 2025 tentang Tarif Air Minum tidak sah dan batal demi hukum karena bertentangan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 dan keputusan bupati berau perlu ditinjau kembali.
Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah jelas disebutkan bahwa tarif air minum harus ditetapkan dengan peraturan daerah. Dalam arti harus dibahas dan mendapat persetujuan DPRD sebagai wakil rakyat yang mewakili pelanggan air minum.
Apakah analisa penulis diatas benar? belum tentu, mungkin keliru atau salah semuanya. Karena ini hanya pendapat pribadi sebagai bentuk kepedulian. Perlu ada tanggapan dari Pemkab Berau sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah dan DPRD Berau sebagai pengawas jalannya pemeritahan.
Mungkin mereka berbeda pendapat. Namun harus diingat berbeda pendapat adalah rahmat yang harus disyukuri karena dapat mendorong pengembangan ilmu pengetahuan. (*)
Opini menjadi tanggungjawab penulis dan tim detikberau hanya melakukan berbagai perbaikan penulisan sebagaimana kode etik dan kaidah jurnalistik