Kesejahteraan Semu, Kerusakan Nyata: Investigasi Mekanisme CSR Perusahaan Sawit dan Batu Bara di Berau

Kesejahteraan Semu, Kerusakan Nyata: Investigasi Mekanisme CSR Perusahaan Sawit dan Batu Bara di Berau

Oleh: Mupit Datusahlan, Dosen Fakultas Teknik dan Konservasi UM Berau

detikberau.com – Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, merupakan salah satu wilayah dengan sumber daya alam melimpah, terutama batu bara dan kelapa sawit. Aktivitas pertambangan dan perkebunan skala besar telah mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang signifikan.

Sebagai bentuk tanggung jawab, perusahaan-perusahaan ini diwajibkan menjalankan Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Hanya saja anggaran terkait dampak aktivitas perusahaan tersebut kerap kali dipertanyakan.

Berbagai tanda tanya yang sering kali terbesit di kepala masyarakat diantaranya; bagaimana mekanisme penyalurannya, apakah dana CSR benar-benar sampai kepada masyarakat serta sejauh ini seperti apa peran forum TJSL yang dibentuk pemerintah dalam pengelolaan CSR?.

Tentu esai tersebut seyoyganya mesti dijawab oleh pemerintah maupun pihak perusahaan selaku penyalur dana. Namun, sepengamatan masyarakat sejauh ini, baik sosialisasi maupun penyampaian secara transparan pun masih nihil.

Sehingganya, perlu dilakukan riset mendalam mengenai CSR yang dikeluarkan baik oleh perusahaan pertambangan maupun kelapa sawit di Berau. Sesuai dengan dasar hukum dan kewajiban yang berlaku.

Berbagai regulasi yang telah mengatur terkait kontribusi perusahaan melalui CSR, bisa dilihat dari Undang-Undang (UU) Nomor 4/2007 tentang Perseroan Terbatas. Dimana pada, Pasal 74 mewajibkan perusahaan di bidang SDA untuk menjalankan CSR.

Selain itu pula, setingkat lokal melalui peraturan daerah (Perda) Berau mungkin memiliki aturan turunan, tetapi implementasinya sering lemah karena kurangnya pengawasan. Lebih lanjut, adapula Peraturan Menteri (Permen) Badan Usaha Milik Negara (BUM) tentang TJSL, berlaku juga bagi BUMN yang beroperasi di sektor tambang dan sawit.

Apabila dilihat dari sebaran perusahaan yang beraktivitas di Berau, diantara namanya sudah sangat familiar di kuping masyarakat. Seperti halnya PT. Berau Coal. program CSR nya sering menyasar sektor pendidikan, kesehatan dan UMKM.

Selanjutnya ada PT Inhutani I yang merupakan BUMN kehutanan yang juga terlibat dalam pembangunan berbasis masyarakat, ada pula perusahaan sawit seperti PT Sawit Mas Sejahtera yang mengklaim mempunyai program pemberdayaan petani plasma.

Namun apakah program-program ini terdokumentasi dengan baik? Laporan keberlanjutan (sustainability report) perusahaan seringkali tidak transparan dalam hal alokasi dana dan evaluasi dampak.

Forum TJSL Kabupaten Berau: Fungsi vs Realita

Pemkab Berau telah membentuk Forum TJSL sebagai wadah koordinasi CSR. Sebaliknya, beberapa masalah kian muncul mengenai sejauh mana peran aktif dari forum ini. Karena dilatarbelakangi dengan, tidak ada mekanisme yang jelas, bagaimana perusahaan melaporkan CSR, apakah ada sistem verifikasi independen dan minimnya partisipasi masyarakat.

Forum yang semestinya menyasar masyarakat terdampak di lingkar perusahaan tersebut justru didominasi oleh pemerintah dan perusahaan, tanpa keterlibatan aktif LSM atau akademisi.

Hal lainnya yang juga muncul adalah sering kali distribusi yang tidak merata. Beberapa desa menerima bantuan infrastruktur, sementara yang lain tidak terdampak sama sekali.

Temuan di lapangan, masyarakat merasa diabaikan. Wawancara dengan warga di Kecamatan Sambaliung dan Talisayan menunjukkan, kalau CSR sering bersifat Insidental (secara kebetulan dan merupakan pelengkap). Sebagai contoh, bantuan sembako saat lebaran, bukan program pemberdayaan jangka panjang.

Adapula, proyek infrastruktrur tidak berkelanjutan. Fenomena di lapangan menunjukkan, jika penanganan hanya bersifat seremonial bahkan setelah 1-2 tahun rusak kembali tanpa adanya perawatan. Termasuk fasilitas kesehatan yang tidak beroperasi optimal.

Jika benar CSR ini dialokasikan dengan baik maka sewajarnya perlu ada pelaporan ke publik sehingga masyarakat secara umum tahu mengenai besaran dana CSR yang seharusnya dialokasikan untuk mereka.

Beberapa rekomendasi untuk transparansi & akuntabilitas CSR dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti, audit independen dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) atau lembaga independen untuk memverifikasi penggunaan dana.

Kemudian, sistem database terbuka. Pemerintah harus mempublikasikan laporan CSR perusahaan secara real-time. Ditambah, pemberdayaan forum TJSL dengan melibatkan LSM, akademisi, dan perwakilan masyarakat dalam pengawasan.

Kalaupun ada yang tidak memenuhi kewajiban CSR maka perusahaan terkait harus diberikan sanksi yang tegas untuk yang melanggar.

CSR seharusnya menjadi instrumen pemerataan pembangunan, bukan sekadar “pencitraan” perusahaan. Di Berau, ketiadaan transparansi dan mekanisme yang jelas membuat manfaat CSR tidak optimal. Pemerintah harus mengambil peran lebih kuat dalam memastikan dana CSR benar-benar menyentuh masyarakat, bukan hanya menguap dalam forum-forum tanpa tindak lanjut.

Langkah yang bisa ditempuh diantaranya dengan melaksanakan investigasi mendalam melalui permohonan akses informasi ke Pemkab Berau dan wawancara dengan perwakilan perusahaan untuk membandingkan laporan CSR dengan realita di lapangan. (*tim)

administrator

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *