Akademisi Unmul: Tantangan Efek Domino Apabila PT. Berau Coal Tidak Perpanjang Kontrak

Akademisi Unmul: Tantangan Efek Domino Apabila PT. Berau Coal Tidak Perpanjang Kontrak
Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman Samarinda, Purwadi Purwoharsojo

detikberau.com, Berau – Pro kontra terkait perpanjangan izin PT. Berau Coal belakangan menjadi buah bibir di kalangan masyarakat khususnya warga Bumi Batiwakkal-Sebutan lain untuk Kabupaten Berau.

Pasalnya, tak sedikit yang menentang untuk menolak perpanjangan izin operasional perusahaan batu bara ini. Sebagian lain, was-was jika kegiatannya benar-benar stop karena efeknya juga dipandang riskan salah satunya adalah gelombang pengangguran yang memuncak.

Dari runutan permasalahannya, jika isu ini bermula dari sorotan tajam yang diberikan Anggota Komisi XII DPR RI, Syafruddin saat rapat bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia belum lama ini. Bahwasanya izin PT. Berau Coal sejatinya harus ditunda perpanjangannya yang akan jatuh tempo pada 22 April 2025, mengingat banyak kewajiban yang belum terselesaikan. Terutama soal reklamasi dan sengketa lahan.

Dalam penyampaiannya, Syafrudin yang merupakan wakil terpilih dari Kalimantan Timur mengaku, jika memang aspirasi masyarakat Berau kebanyakan mengadu mengenai konflik di lapangan yang bergesekan dengan PT. Berau Coal. Isu ini pun kemudian mencuat dan ikut dikritik oleh sejumlah tokoh.

Menurut Pandangan Akademisi Ekonomi

Menyimak terkait ini, Pengamat Ekonomi dari Universitas Mulawarman Samarinda, Purwadi Purwoharsojo menyebut, jika eksistensi antara batubara dengan Berau memang tak bisa dilepaskan mengingat penopang terbesar perekonomian wilayah ini berasal dari hasil kekayaan alam tersebut.

Menurutnya, sejak tahun 2015 berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) dari masa pemerintahan Makmur HAPK jika ketergantungan Berau terhadap pertambangan sangat tinggi.

Hingga pada akhir 2024 kemarin, data Badan Pusat Statistik jika Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) pertumbuhan ekonomi Kabupaten Berau menurut lapangan usaha Tahun 2023 tercatat jika 58,27% ditopang oleh sektor pertambangan dan penggalian.

Sedang sisanya, terbantukan oleh pertanian, kehutanan dan perikanan 11,26%, jasa keuangan dan administrasi sebesar 10,23% kemudian administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial 9,41%, bidang konstruksi 9,10% dan terakhir perdagangan besar dan eceran 6,48%. Realita ini mau tidak mau harus diterima oleh masyarakat Berau. Jika emas hitam masih menjadi tulang punggung penggerak ekonomi daerah.

“Nyaris tidak bisa hidup tanpa pertambangan dan sudah sering saya kaji apabila pemerintah tidak segera mempersiapkan transformasi sektor andalan maka dapat menjadi mimpi buruk bagi generasi selanjutnya,” ujar Purwadi.

Menurut dosen ASN itu, jika batu bara sampai benar-benar stop maka pendapatan daerah menjadi sangat minim. Sebagai permulaan, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten Berau Tahun Anggaran 2025 besaran APBD Berau senilai Rp 5,2 triliun.

Dari jumlah tersebut Rp 4,3 triliun merupakan transfer dari pusat sedang Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya Rp. 448 miliar. Dengan ratusan miliar tersebut, kata Purwadi, penghasilan daerah dari hasil sendiri harus bisa mensejahterahkan penduduk Berau 288.943 jiwa (data Disdukcapil 2024).

“Ngeri-ngeri sedap menurut saya, kalau begini Berau akan mendapat pukulan telak dua kali,” sambungnya.

Pukulan Telak bagi Bumi Batiwakkal

Bagi Purwadi, pukulan pertama, dari segi anggaran transfer dari melalui dana Transfer ke Daerah (TKD)-nya mendapat potongan, walaupun tidak signifikan.

Dalam Buku Alokasi dan Rangkuman Kebijakan Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2025 yang Diterbitkan Kementerian Keuangan porsi anggaran untuk Berau Rp 3,4 triliun.

Terdiri atas Dana Alokasi Umum (DAU) yang dipangkas menjadi Rp 563 miliar dari yang awalnya Rp 603 miliar dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik hanya mendapat Rp 978 juta dari awalnya Rp 38 miliar.

Sedang pukulan kedua, apabila penopang ekonomi seperti halnya perusahaan PT. Berau Coal tutup maka imbasnya sangat besar. Sedang sektor lain diakui belum siap.

“Sedangkan untuk perubahan atau transformasi ekonomi dari sektor pariwisata belum siap, termasuk sektor lainnya, kalau menurut saya di Berau sangat belum siap, ibarat perang senjatanya belum mumpuni,” tegas Purwadi.

Tak hanya itu, efek lain yang ditimbulkan adalah konsumsi masyarakat ikut lesu. Karena tingkat pengangguran yang tinggi. Belum lagi, warga luar daerah yang bekerja di perusahaan otomatis akan pulang ke wilayah asalnya menyebabkan daya beli di tingkat usaha mikro kecil menengah (UMKM) lokal pun ikut berimbas. Sementara ekonomi nasional 60 persennya ditopang juga oleh konsumsi masyarakat.

“Saya rasa hampir semua daerah di Indonesia, konsumsi rumah tangga itu menjadi penopang ekonomi nasional selama ini. Jadi ketika konsumsi rumah tangga menurun karena daya belinya hilang atau menurun sudah tentu itu berdampak negatif terhadap ekonomi. Hampir 70 persen keuangan daerah bisa anjlok,” tuturnya.

PR Berat Bagi Pemerintah Daerah

Efek dominonya memang harus diantisipasi, lantaran mempunyai pengaruh besar karena ketergantungan Berau terhadap sektor batu bara cukup tinggi. Meskipun perusahaan lain juga ada, namun menurut Purwadi Berau Coal memiliki izin konsesi yang cukup luas sehingga pembayaran bagi hasil ke daerah pun semestinya dapat sesuai.

Menyimak akan hal itu, Purwadi menilai, jika polemik yang merebak di masyarakat seperti halnya reklamasi, sengketa lahan dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) merupakan pekerjaan rumah yang juga perlu diperhatikan dan ikut dipantau oleh pemerintah daerah.

Menurutnya, soal reklamasi tetap menjadi tanggungjawab perusahaan dalam memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem serta meningkatkan pemanfaatan lahan. Tegas Purwadi, perusahaan pun tidak dibenarkan apabila cuci tangan dengan memanfaatkan lahan tambang menjadi lahan perkebunan. Sementara jauh dari itu, reklamasi perlu memperhatikan pengembalian suasana awal kondisi pasca tambang.

“Kalau menurut saya, kalau memang mau memandirikan sektor pertanian lindungi wilayah pertanian jangan malah dialihfungsi menjadi batu bara dan sawit,” katanya.

Sementara terkait transparansi dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pun yang ikut menjadi sorotan yang ikut menjadi permasalahan klasik di semua daerah. Menurut dosen Unmul itu, memang CSR merupakan hal yang patut diperhatikan jangan hanya sekadar menjadi pengugur kewajiban perusahaan terhadap masyarakat di lingkar tambang.

“CSR itu loh ibarat cuma sebagian kecil dari perusahaan, jadi pemerintah pun harusnya ikut memantau dan menyiapkan antisipasi efek domino yang ditimbulkan dari sekarang, seperti menyiapkan lapangan kerja karena PHK dalam jumlah besar, termasuk memikirkan strategi imbas dari daya beli masyarakat yang menurun tadi,” katanya. (*tim)

administrator

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *