Banjir Berulang di Berau, Dilihat dari Sisi Kajian Ilmiah dan Saran Kebijakan Tepat Guna, Ancaman Ekosistem Laut Tinggal Menunggu Waktu

Banjir Berulang di Berau, Dilihat dari Sisi Kajian Ilmiah dan Saran Kebijakan Tepat Guna, Ancaman Ekosistem Laut Tinggal Menunggu Waktu

detikberau.com – Banjir yang mengepung Kabupaten Berau berulang kali, nampaknya telah menjadi bencana rutin yang harus dirasakan masyarakat. Terdampak paling parah adalah warga yang bermukim di dekat hulu Sungai Segah dan Kelay.

Kejadian terbaru, pada, Selasa (27/5/2025). Banjir kembali merendam sejumlah kampung di sekitaran Segah. Diantaranya Kampung Long La’ai, Long Ayap, Long Ayan, Punan Segah dan Sidung Indah. Banjir parah lainnya juga melanda Kampung Long Lamcin di Kecamatan Kelay. Ketinggian air ditaksir mencapai 3 meter.

Akibat banjir ini bangunan gereja, perumahan guru dan tiga rumah warga lainnya terlihat rusak akibat terseret oleh derasnya arus air. Sedangkan, total kepala keluarga (KK) yang terdampak mencapai 7.474 jiwa.

Analisis Akar Masalah Banjir

Niel Makinuddin dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Kaltim-Kaltara yang melakukan analisis kajian terhadap akar masalah terjadinya banjir di Kabupaten Berau, menguraikan jika, banjir disebabkan oleh beberapa faktor.

Berdasarkan dari latarbelakang, Kejadian banjir sepanjang Mei 2025 di daerah aliran sungai (DAS) Segah dan Kelay merupakan kejadian banjir paling parah sejak 20 tahun terakhir.

Menurut Niel, akar penyebab utama banjir itu adalah berkurangnya luasan tutupan hutan dan lahan akibat konversi atau perubahan tutupan lahan ke penggunaan lain seperti perkebunan, tambang (legal maupun illegal alias koridor) dan permukiman atau pembukaan lahan lainnya yang merubah atau mengurangi tutupan lahan.

Jika dilihat dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2022 berdasarkan data tutupan lahan. Maka Sambaliung dan Teluk Bayur mengalami penambahan luasan tambang.

Sedang di bagian Segah dan Kelay mengalami penambahan luasan kebun kelapa sawit yang cukup besar.

Dari kajian tersebut pula, Niel memandang untuk wilayah Kelay bentuk topografi (bentuk permukaan bumi)-nya memang cukup ekstrem. Dimana, kawasan yang landai sebenarnya sempit serta dikelilingi kawasan dengan kecuraman sedang hingga tinggi.

Lebih lanjut, menurut Niel, apabila dilihat dari DAS Kelay tren 10 tahun terakhir. Peningkatan deforestasi (hilangnya tutupan hutan) meningkat signifikan di 2023.

Sehingga secara berturut-turut dalam 10 tahun terakhir, terdapat indikatif (keadaan yang benar dan mungkin terjadi) 34 ribu hektare tutupan hutan telah hilang.

Iklim Alam Selalu Jadi Kambing Hitam?

Dari analisis Niel, faktor iklim alam tidak selamanya benar untuk dikaitkan dengan akibat dari bencana hidrometeorologi (kondisi bencana yang disebabkan air, angin dan kekeringan). Khususnya banjir.

Berdasarkan pengambilan data pihaknya, kondisi hujan yang terjadi sejak Maret di wilayah Berau memang mengalami peningkatan curah hujan.

Kondisi tersebut, menurut analisisnya, mengakibatkan kelembanan tanah jenuh atau kondisi dimana tanah terisi penuh dengan air. Sehingga kapasitas menyimpan air menjadi penuh dan mengakibatkan aliran permukaan semakin tinggi yang menyebabkan banjir.

“Perlu diwaspadai atau antisipasi terkait masih ada peluang peningkatan curah hujan yang akan berdampak diwilayah Berau dan sekitarnya,” ujar Niel.

Sementara itu, apabila dilihat dari faktor alam lain, seperti La Nina. Menurut dia, juga tidak bisa dibenarkan. Secara singkat La Nina ini fenomena iklim “basah” Dimana curah hujan cenderung tinggi.

“Curah hujan selalu jadi kambing hitam, padagal curah hujan ektrems hanya dipicu oleh fenomena alam yakni La Nina sedang akar penyebab utama banjir adalah konversi atau berkurang nya tutupan hutan,” tambahnya.

Dirinya pun menyimpulkan, perubahan tutupan hutan di hulu sungai tersebut dalam jangka panjang juga mengancam ekosistem pesisir dan laut.

Sedimen dalam jumlah tertentu akan mengancam keberadaan dan kesehatan terumbu karang. Jika terus terjadi, maka dalam jangka waktu tertentu akan menurunkan produktivitas perikanan laut.

“Pada gilirannya ini akan mengancam kehidupan nelayan dan industri wisata yg berbasis ekosistem laut,” tandasnya.

Tanggapan DPRD Melihat Kondisi Banjir yang Kian Berulang dan Saran Untuk Pemda Berau

Kondisi ini mendapat sorotan oleh Anggota DPRD Berau, Rudi Parasian Mangunsong. Menurutnya, ke depan pemerintah daerah harus melakukan kajian analisis ilmiah. Untuk mencari tahu, faktor penyebab bencana tersebut dapat terus menerus terjadi.

“Jangan melulu memandang, karena alam, sedikit-sedikit karena alam, alam bisa begitu karena siapa?, karena ulah tangan manusia juga,” ujarnya.

Dirinya tak menampik, kerusakan alam yang terjadinya memang berawal dari kesepakatan investor yang masuk ke Berau untuk melakukan aktivitas galian, pertambangan, maupun pembukaan lahan perkebunan besar-besaran.

Untuk mencari tahu akar permasalahan tersebutlah, menurutnya perlu dilakukan analisis mendalam. Dimulai dengan daerah yang paling rawan hingga daerah yang menjadi langganan banjir setiap tahun.

“Pemerintah sudah saya sampaikan beberapa kali untuk melakukan kajian dengan instansi terkait. Semisal tahun ini banjir terjadi di wilayah A, disitu baru dicari tahu kenapa banjir terjadi wilayah tersebut,” tambahnya.

Dengan tujuan, arah kebijakan pembangunan di wilayah yang rawan banjir menurut Rudi harus dapat disesuaikan dengan kondisi alam sekitar. Politisi PDI Perjuangan itu memberi contoh beberapa arah pengerjaan yang bisa dilakukan.

“Contohnya, akibat banjir akses jalan susah karena terlalu rendah maka silahkan naikkan badan jalannya, begitu pula arah kebijakan di sektor lain agar solusi pemecahan permasalahan tersebut bisa sesuai dengan kondisi wilayah tersebut,” sambungnya.

“Jangan setiap tahun sama saja, sudah tahu kondisi alamnya seperti itu (banjir) tapi tidak mempunyai kajian akademisyang sifatnya riset,” pungkasnya. (*tim)

administrator

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *